VISI : MENJADI GEREJA YANG BERSAHABAT, MEMBERDAYAKAN UMAT, SERTA MENJADI BERKAT >>> MISI : (1) Membangun umat yang bersahabat, peduli dan ramah terhadap gereja dan lingkungan sekitar (2) Mengembangkan wadah pelayanan yang partisipatif, kreatif dan inspiratif (3)Pengembangan wilayah pelayanan gereja dan masyarakat
About Me
BACAAN LEKSIONARI PADA MINGGU KU1,KU2,KU3 oleh FMS KLIK DISINI →

TRINITAS




MENGENAL ALLAH TRINITAS
Pdt.Yohannes Bambang Mulyono,M.T (Pendeta GKI)

PENDAHULUAN (1)
Pusat iman Kristen adalah Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Pernyataan diri Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus ini dalam Pengakuan iman Kristen disebut Allah Trinitas. Istilah “Trinitas” tidak pernah kita jumpai dalam ayat-ayat Alkitab, namun esensi “Trinitas” terdapat dalam pelbagai kesaksian Alkitab. Penggagas pertama istilah “Trinitas”  ada dua pendapat, yaitu istilah Theopilus dari Antiokia (115 – 181). Kedua adalah Tertullianus (160 – 220) di Kartago (sekarang Tunisia). Kata “Trinitas” berasal dari bentukan kata dalam bahasa Inggris, yaitu Triunity (harafiah tiga dalam kesatuan). Kata Triunity tersebut berasal dari bahasa latin yaitu, Trinitas (berasal dari “triad” yang artinya tiga). Istilah-istilah tersebut mengandung makna bahwa Allah dalam keesaannya adalah yang memiliki tiga diri (pribadi) sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus.
Ciri khas dan identitas iman Kristen bukan hanya Allah yang esa. Rumusan yang tepat adalah : “Allah yang esa dalam Bapa-Anak-Roh Kudus”. Karena itu rumusan iman “Allah Trinitas” seharusnya dinyatakan dalam seluruh aspek kehidupan spritualitas umat, pengakuan iman, dan liturgy. landasan umat berdoa, dibaptis, mengaku percaya (sidi), menikah, diteguhkan menjadi pejabat gerejawi, atau ditahbiskan menjadi pendeta senantiasa dinyatakan dalam rumusan “Bapa-Anak-Roh Kudus”. Dalam hal ini makna “keesaan Allah” tidak dipahami sebagai keesaan yang nominal (absolute), namun keesaan yang relasional (majemuk). Sebab dalam rumusan Allah sebagai “Bapa-Anak-Roh Kudus” di imani sebagai Allah yang Esa dengan tiga pribadi, namun ketiga-Nya berelasi dalam ikatan kasih dan keintiman yang tiada taranya.
Pemahaman iman (teologis) tentang Allah bukan hanya berkaitan dengan bidang dogmatika belaka, namun juga bidang etika. Ajaran dan pemahaman Allah yang absolute sebagai satu-satunya subjek ilahi dapat menciptakan “monarkhi absolutisme” dalam kehidupan Negara dan bangsa. Maka absolute berarti mutlak , sehingga ketika dijewantahkan dalam kehidupan bersama di tengah-tengah komunitas dapat menjadi pemutlakan terhadap suatu kebenaran, dan menolak kebenaran lain yang dianggap tidak cocok. Absolutisme dalam ranah Ilahi dalam kehidupan sehari-hari sering diidentikkan dalam absolutisme dalam ranah insani, sehingga Allah yang esa atas satu secara nominal (absolute) tidak menyediakan ruang bagi pihak yang berbeda. Sebaiknya, Allah yang berbeda dalam tiga pribadi, yaitu “Bapa-Anak-Roh Kudus” membuka ruang kasih dalam relasi yang berbeda. Doktrin Trinitas menjadi dasar sikap yang praktis untuk membuka ruang memperkuat jalinan relasi dan penerimaan kepada pihak lain yang dianggap berbeda.

PENGAJARAN UNITARIANISME (2)
Pengajaran unitarianisme menekankan kepada keesaan Allah secara bilangan (absolute), sehingga menolak ketuhan Yesus dan Roh kudus. Aliran teologi “unitarianisme” oleh Tertullianus disebut dengan “monarkhianisme” (Erickson 1991, 48). Prinsip pemikiran Unitarianisme atau Monarkhianisme adalah menolak ke–Tuhan-an Yesus, sebab Allah pada hakikatnya adalah esa secara bilangan, sehingga kedudukan Yesus berada dibawah Allah (Ericson 1991, 48 – 49).Tokoh pertama yang menekankan makna keesaan secara bilangan (absolute) adalah Adamatinus Origenes (hidup 185 – 255). Sebab Origenes sangat menekankan pada  keesaan Allah secara nominal, karena itu satu-satunya Allah adalah Allah Bapa (Sieberg 1958, 148 – 150). Dengan kata lain Allah Bapa yang esa itu menjadi sebab segala sesuatu yang berada , Ia adalah Allah yang ada pada diri-Nya sendiri dan tidak dilahirkan. Konsekuensi logisnya adalah Origenes menempatkan logos yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus memiliki pangkat yang lebih rendah dari pada Allah Bapa. Sebab logos (Anak) dipakai oleh Allah sebagai perantara untuk berhubungan dengan dunia benda.
Kedudukan LOGOS (Anak) dalam teologi Origenes adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal Ia dilahirkan dari Allah.Walupun demikian Logos (Anak) tidak mempunyai awal yang temporal. Maksudnya eksistensi Logos (Anak) adalah non est quando Fillius non Filius fult (“tidak ada saat dimana Anak itu tidak ada”). Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan Ia satu dengan Allah, tetapi karena Ia keluar dari Allah Bapa, maka Ia lebih rendah dari Allah Bapa. Jadi dalam pemikiran Origenes, Yesus selaku Firman adalah Theos Deuteros (Allah berderajat/berpangkat dua). Demikian pula dengan Roh kudus, dipandang sebagai zat yang ada pada Allah atau Roh kudus merupakan pangkat ketiga dalam zat Allah. Roh kudus ada karena sang logos (Anak). Lingkup kerja Roh kudus lebih sempit dibandingkan dengan lingkup kerja dari Logos (Anak). Jadi pemahaman teologis Origenes tentang ketritunggalan Allah merupakan konsepsi yang sifatnya bertingkat. Jadi Origenes menempatkan kedudukan Allah sebagai Bapa, Anak dan Roh kudus; tetapi meniadakan kesatuan diantara ketiganya. Tokoh kedua yang memahami makna keesaan  Allah secara nominal (bilangan) adalah Arius (250 – 336), penatua dari Aleksandria. Arius dapat disebut sebagai seorang yang mendefenisikan ulang pemikiran Origenes. Ia mempertahankan transendesi Allah dan hanya mengakui Allah Bapa  sebagai satu satunya Allah yang Esa. Arius menyatakan : “He is the One and only,single and incomparable “ (Ericson 1991,50) . Perbedaan dengan Origenes adalah jika Origenes memahami kedudukan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus secara subordinaisme (berpangkat-pangkat), tetapi Arius menolaknya. Jadi Arius berpandangan karena Allah itu satu-satunya yang tak dilahirkan, yaitu  Ia tidak diciptakan,maka eksistensi Anak pasti diciptakan. Karena itu Anak adalah ciptaan. Perbedaan kedua, jika  Origenes mengatakan bahwa Anak itu dilahirkan sejak kekal, maka Arius menegaskan bahwa yang kekal itu hanya Allah. Jadi Arius menyatakan bahwa Anak tidak dilahirkan sejak kekal. Anak mempunyai awal, walaupun Ia  telah hadir sebelum dunia diciptakan. Disini Arius mengakui Anak sebagai pencipta waktu, namun Dia pernah tidak ada. Artinya dari segi kekekalan ilahi, Sang anak pernah tidak ada. Perhatikan perbedaan dengan Origenes yang menyatakan bahwa Anak pada hakekatnya “tidak ada saat dimana Anak itu tidak ada” sebaliknya Arius menegaskan bahwa “ada saat dimana Anak tidak ada” (there was a time when the Son was not) (Ericson 1991, 55). Dengan demikian Arius mengajarkan bahwa Anak tidak mempunyai kesatuan dengan Allah Bapa (Erickson 1991, 51).  Sebab Anak hakikatnya ciptaan, sehingga subtansi-Nya tidak sama dengan subtansi Allah. Perbedaan Yesus sebagai “ciptaan” dengan “ciptaan pada umumnya” adalah Yesus dibuat langsung oleh Allah, sedang seluruh ciptaan yang lain diciptakan secara tidak langsung  oleh Allah (Erickson 1991,51). Disini Arius menentang pandangan Origenes yang mengajarkan bahwa Firman dan Hikmat yang adalah Anak sama dengan Firman dan Hikmat yang ada pada  diri Allah, lebih jauh lagi, Arius menegaskan yaitu karena Allah adalah satu-satunya yang mutlak dan kekal dan Anak hanya sebagai ciptaan, maka anak itu harus tunduk pada perubahan dan dosa. Dari pandangan Arius ini kita dapat melihat bahwa Arius secara konsisten menegaskan keesaan Allah , yaitu keesaan Allah secara bilangan. Bandingkan pula dalam lingkungan umat muslim menyebut keesaan Allah secara bilangan dengan istilah tauhit. Ajaran Arius pada hakikatnya menolak ajaran Trinitas yang memahami Allah yang esa dengan tiga pribadi-Nya. Reaksi penolakan atas ajaran Arius tentu sangat hebat, sehingga kaisar Konstantinus campur tangan dan menyelenggarakan sidang sinode di Nicea tahun 325 untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Tokoh ketiga yang menolak pengajaran Trinitas (Allah yang esa dalam tiga pribadi-Nya) adalah Sabelius yang hidup sekitar abad 3 (Erickson 1991,54). Ia sebenarnya seorang Libya walaupun beberapa orang menganggapnya sebagai orang Roma. Pemikiran sabelius pada prinsipnya mempertahankan keesaan Allah. Dalam konsep Sabelius, Allah memiliki satu hypostasis namun memiliki “tiga nama”. Jadi Allah yang Esa dalam pernyataan itu menampakkan diri secara modalitas atau tiga bentuk penampakan diri. Dalam perjanjian lama, Allah menampakkan diri sebagai Bapa yang bertindak sebagai sang pencipta dan pemberi hukum. Kemudian Allah yang esa dan sama itu menyatakan diri-Nya dalam diri sang Anak, yaitu sebagai juru selamat untuk menebus dosa  umat manusia. Ahirnya Allah yang esa dan sama itu setelah kematian dan kebangkitan Yesus pada  hari Pentakosta menyatakan dirinya sebagai Roh Kudus. Dengan pola pemikiran modalisme tersebut, Sabelius memang berhasil mempertahankan keesaan Allah  akan tetapi pada sisi lain mengorbankan segi pluralitas Allah (Tunner 1977,220). Konsep ”Tritunggal” menurut Sabelius sebenarnya tidak lebih dari proses urut-urutan cara penampakan Allah yang esa dalam berbagai momen sejarah. Karena itu pengajaran unitarianisme atau monarkhianisme (Allah yang esa menampakkan dirinya dalam tiga rupa atau wujud (Erickson 1991,49).

Kesimpulan yang dapat ditarik dalam ajaran/pengertian yang menolak trinitas, yaitu ajaran unitarianisme (monarkhianisme):
1.Allah dipandang sebagai satu person/satu pribadi saja, dan karena itu pemahaman yang menolak ketrituggalan Allah sering pula disebut dengan ajaran tentang “unipersonalitas”Allah (unipersonality of God).

2.Karena eksitensi Allah dipandang dalam satu pribadi saja yang ilahi dan transenden, maka ajaran yang menolak trinitas pada hakekatnya menyangkal ke tuhanan Yesus dan Roh Kudus.

3.Apabila Yesus selaku Anak dan Roh Kudus dalam ajaran ini diakui “ketuhanan-Nya” tapi hanya sebatas pengertian “ketuhanan” yang lebih rendah (subordinasianisme) sebagaimana yang diajarkan oleh Origenes Yesus selaku Logos adalah pangkat kedua, sedang Roh Kudus lebih rendah lagi yaitu pangkat ketiga dari Allah Bapa.

4.Dalam pandangan Arius, Yesus dan Roh Kudus ditolak kesamaan subtansi-Nya dengan Allah. Sebab dalam pandangan Arius, Yesus selaku Anak memang diakui sebagai pencipta waktu tetapi pada hakekatnya Yesus hanya berkedudukan sebagai ciptaan dan berawal, bukan kekal. Karena Yesus hanya ciptaan, maka dalam pandangan Arius Yesus selaku Logos/Anak harus tunduk pada perubahan dan dosa. Dalam pandangan  Arius, Yesus yang adalah Logos ketika menjadi Ia manusia tidak terbebas dari dosa.

5.Dalam pandangan Sabelius, keunikan pribadi Yesus dan Roh Kudus tidak diberi tempat  sama sekali.Yesus dan Roh Kudus dianggap hanya sebagai salah satu bentuk modalitas (penampakan) Allah dalam karya-Nya. Eksistensi Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa ,Anak dan Roh Kudus di pahami hanya sekedar nama-nama diri dari satu Allah yang esa itu.

Catatan :

1.Bandingkan dengan pandangan Saksi Yahova yang mengajarkan bahwa Allah Bapa dan Putera Allah (Yesus Kristus)  adalah dua pribadi dan Roh yang secara hakiki berbeda dan terpisah satu sama lain. Allah Bapa, Jehova, sang pencipta lebih tinggi dari sang Putera.Yesus Krisus adalah saksi dan pelayan utama dari Jehova. Pada suatu ketika Allah berada sendirian, tetapi setelah memulai penciptaan, Allah mengeluarkan seorang Putera. Dengan demikian sang putera itu mempunyai keberadaan pra-manusia sebelum kelahiran-Nya di dunia dan merupakan “permulaan dari penciptaan oleh Allah” sang Putera itu dinamakan “Michael atau “Logos” (“Firman”) ketika masih dalam keadaan tidak fana lalu dinamakan Yesus selama Ia melawat didunia. Lihat : Jan.s.Aritonang Berbagai aliran didalam dan disekitar gereja .Jakarta BPK Gunung Mulia 1995 ,334

2.H.E.W Turner menyatakan :”the father alone is God since he alone ingenerate Since the Son is generate he could not be fully God. He was different in substance from the father, not only as separate concreate particular (Origen) but also as lacking a common generic character .on the analogi of human generation Arios argue that “there was a time when the son was not”.He was a creature but not as one of creatures, though he enjoyed a special relationship of dependence upon the devine will (Turner 1977,346).

3.Pandangan Arius yang mengatakan, bahwa Yesus sebaga Logos/Anak tunduk pada perubahan dan dosa justru oleh saksi jehova dinyatakan bahwa Yesus menjalani kehidupan-Nya sebagai manusia tanpa dosa. Tetapi baik Arius maupun Saksi Jehova menyatakan bahwa Jesus bukanlah Allah.

4.Intervensi kaisar Konstaninus menyebabkan perdebatan teologis berubah menjadi issue politik. Namun hanya sedikit gereja yang menerima ajaran/pandangan Arius. Salah satu keputusan sidang sinoda di Nicea adalah mengucilkan Arius dan para pengikutnya.


PENGAJARAN TRINITARIANISME (3)
Penolakan terhadap pengajaran Unitarianisme (Monarkhianisme) melahirkan pengajaran Trinitarianisme. Tokoh Trinitarianisme atau pengajaran Allah Trinitaris yang paling menonjol adalah Athanasius sebab dialah yang memiliki pengaruh besar dalam percakapan dan keputusan persidangan sinode di Konstantinopel tahun 381. Dalam pemikirannya Athanasius mengakui keesaan Allah, namun pada saat   yang sama Allah yang esa itu pada hakikatnya adalah Allah Tritunggal. Karena itu kedudukan Yesus selaku Firman tidak berada dibawah Allah, dan Ia juga bukan ciptaan seperti yang dikatakan oleh Arius. jadi dalam pemikiran Athanasius Yesus selaku Firman Allah pada hakikatnya Ia adalah Allah, selaku Firman Allah, Yesus telah berada sejak kekal, tidak berawal dan  sehakekat dengan diri Allah (Erickson 1991,48-52). Karena itu Athanasius menolak pemikiran Origenes yang mengajarkan bahwa Yesus selaku Firman adalah Deuteros (Allah berpangkat dua). Sebab dalam pemikiran Athanasius Allah dan Yesus itu satu Homousios, sehingga keilahian Anak identik dengan keilahian Allah. Jadi Allah Bapa dan Anak dalam pemikiran Athanasius memiliki kesatuan hakikat (oneness of essence). Pandangan Athanasius tersebut diatas didukung oleh “tiga serangkai dari kapadokia” yang kemudian memunculkan ide pengertian Trinitas itu sebabnya dalam pengakuan  iman Athanasius dinyatakan :”Kita menyembah satu Allah dalam ke tritunggalan-Nya dan ketritunggalan dalam keesaan-Nya tanpa mencampur-baurkan kepribadian-Nya dan tidak memisahkan hakikat-Nya. Karena dalam hakekat-Nya Allah terdapat satu pribadi dari Bapa, yang lain dari pribadi Anak, dan yang lain dari pribadi Roh Kudus.Tetapi Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah Esa dengan kemuliaan yang sama dan kewibawaan yang sama kekalnya…” Dalam pengakuan iman Athanasius, oknum Roh kudus difahami sehakekat dengan Bapa dan Anak. Jadi eksistensi Roh Kudus dalam pemikiran Athanasius tidak diciptakan. Roh Kudus itu juga adalah diri Allah yang mencipta. Berbeda dengan Origenes yang menyatakan bahwa Roh Kudus itu keluar dari Anak, dan karena itu Roh Kudus berbeda dengan Anak.
Selain itu pandangan Athanasius berbeda dengan Arius, yang mengajarkan bahwa Roh Kudus itu bukan Allah. Sebaliknya dalam pengakuan iman Athanasius menyatakan bahwa Roh Kudus kekal, Ia tidak diciptakan dan tidak terbatas. Perhatikan pengakuan iman Athanasius berikut : “Bapa bukan diciptakan, Anak tidak diciptakan, dan Roh Kudus tidak diciptakan. Bapa tidak terbatas adanya, Anak tidak terbatas adanya, demikian pula Roh Kudus tidak terbatas adanya. Bapa kekal adanya, Anak kekal adanya, Roh Kudus juga kekal adanya. Bukan tiga yang kekal, tapi satu yang kekal.
Tokoh kedua yang dapat disebut mengajarkan Trinitarianisme adalah Tertullianus (145-220).Tertullianus memperkenalkan rumusan : Una Subtantia, Tres Personae, yang artinya “satu zat, tiga pribadi”. Dalam pemikiran Tertulianus dinyatakan bahwa Allah itu satu dalam subtansi/zat-Nya dan memiliki tiga didalam persona/pribadi-Nya (Erickson1991, 192).Tertullianus dalam tulisannya sebenarnya menentang ajaran dari Praxeas. Ajaran Praxeas adalah Allah adalah Roh, dan sebagai Roh Ia disebut Bapa. Kemudian Ia mengenakan daging atau menjadi manusia Keadaan Roh menjadi daging itu disebut Anak, Jadi dalamTuhan Yesus, diri Allah Bapa dan Anak menjadi satu, yaitu bahwa manusia Yesus (yang memiliki daging) adalah Anak, sedang Kristusnya  (yang adalah Roh) adalah Bapa. Pola pikir Praxeas yang terlalu simplistis dengan menyamakan begitu saja pribadi Bapa dan Anak tersebut ditentang oleh Tertullianus, Itu sebabnya Tertullianus menegaskan bahwa dalam satu pihak Allah itu esa, namun ia memiliki tiga pribadi artinya Allah Bapa memiliki persona. Ketiga persona Allah itu hakikatnya tetap esa.karena ketiga persona Allah itu disatukan dalam satu zat ilahi. Konsep pemikiran Tertullianus tersebut sebenarnya cenderung memiliki corak pendekatan monolistik (satu subtansi zat). Dalam pemikiran Tertullianus, Allah dipandang memiliki akal/budi. Kemudian Firman (Logos) pada waktu penciptaan dikeluarkan dari akal/budi  Allah. Firman yang keluar dari akal/budi Allah inilah yang disebut “Anak”. Demikian pula  dengan Roh Kudus, semula adalah satu dengan Firman. Roh Kudus tersebut juga tetap satu ketika Firman itu menjadi manusia dan menderita sengsara. Baru setelah Kristus naik ke sorga, Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak.Walaupun Firman itu keluar dari Bapa, dan Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak,Tertullianus tidak memahami Firman/Anak dan Roh Kudus lebih rendah dari pada Allah Bapa sebagai mana yang diajarkan oleh Origenes. Ketiga oknum Allah tersebut tetap sehakikat dalam satu subtansi/zat. Perumusan ajaran Trinitas dari Tertullianus dalam perkembangan kemudian sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran teologi gereja pada zaman berikutnya. Untuk menggambarkan ajaran Trinitas sebagaimana yang telah dinyatakan oleh pengakuan Iman Nicea- Konstantinopel dan pengakuan iman Athanasius, umumnya dipakai diagram Scutum Fidel (perisai Trinitas). Dalam diagaram tersebut dinyatakan bahwa keberadaan Allah dinyatakan dalam tiga pribadi (hypostasis). Dalam kedudukannya, ketiga pribadi Allah itu sama dalam hakikat, tabiat, kuasa, tindakan dan kehendak-Nya. Namun ketiga pribadi Allah yang adalah Allah itu memiliki keberadaan-Nya sendiri, sehingga Allah Bapa bukanlah Anak, dan bukanlah Roh Kudus. Pemahaman tentang Allah yang esa, dapat dilihat dari dua sudut, yaitu Allah itu esa secara bilangan (wahdat bi”f adat), tetapi juga Allah itu esa secara relasional (wahdat bi”f nisba). Dalam hal ini Allah orang Kristen yang “Trinitarian” dapat disebut  dalam pegertian wahdat bi”l nisba yaitu bahwa Allah yang esa itu memiliki relasi yang sehakikat antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, Keesaan Allah merupakan keesaan yang relasional antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus sehinga didalam diri Allah pada hakikatnya dilandasi oleh kasih. Allah itu kasih (1 Yohannes 4:48), Karena Allah itu kasih, maka Bapa mengasihi Anak (Firman) dan Roh Kudus mengasihi Bapa. Demikian seterusnya. Dalam kekekalan sampai kekal, Tiga pribadi Allah tersebut saling mengasihi. Kasih ilahi didalam diri Bapa – Anak - dan Roh Kudus disebut gerak kasih didalam hakikat Allah (adinterna). Gerak kasih ilahi didalam tiga pribadi Allah tersebut menjadi landasan etis ilahi Allah mengasihi seluruh ciptaan-Nya khususnya umat manusia (ad-externa)

Kesimpulan ajaran Trinitarianisme :
1.Pada prinsipnya ajaran Trinitaris tetap mempetahankan keesaan Allah.
2.Namun dalam keesaan-Nya,Allah memiliki tiga pribadi yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ketiga pribadi Allah tersebut memiliki perbedaan dan kekhasan/keunikan-Nya. Karena itu ketiga oknum Allah tersebut tidak bercampur.
3.Ketiga pribadi Allah tersebut memiliki kesamaan dalam kekekalan, tidak terbatas (unlimited), tidak ada yang diciptakan (unceated), memiliki kemuliaan yang sama. Karena itu kedudukan Allah Bapa sehakikat dengan Anak dan juga sehakikat dengan Roh Kudus (Onenes of essence).
4.Ajaran Tertullianus tentang “satu zat tiga pribadi” menunjuk upaya teologis tentang misteri Allah agar gereja - gereja memiliki  suatu rumusan Trinitaris yang seimbang, yaitu tetap konsisten mempertahankan keesaan Allah dan pada pihak lain juga mengakui ketritunggalan-Nya. dalam persona (pribadi)-Nya yang saling berbeda.
5.Dalam diri-Nya Tiga Pribadi Allah sebagai Bapa, Anak, Roh Kudus saling mengasihi sejak kekal sampai kekal. Gerak kasih Allah dalam diri-Nya (ad-interna) menjadi landasan etis ilahi Allah mengasihi seluruh ciptaan-Nya (ad-externa).

Tinjauan Kritis terhadap Pandangan Unitarianisme
Tinjauan kritis dari penulis terhadap pandangan Unitarianisme yang menekankan keesaan Allah secara bilangan perlu dilakukan agar jemaat memahami dengan tepat alasan gereja menghayati imannya kepada Allah yang Trinitaris. Dalam uraian ini kita batasi tinjauan kritis hanya pada pandangan dari Origenes, Arius dan Sabelius, yaitu :

1.Dalam pandangan Origenes,  kita dapat melihat prinsipnya yang sangat membela ketunggalan Allah (The Father is Very God). Allah Bapa melampaui segala hal/keberadaan (The Father is very beyond being). Karena itu kedudukan Anak/Logos memiliki pangkat yang lebih rendah dari Allah Bapa.Yesus berkedudukan sebagai Allah yang kedua (Theos Deuteros/Secondary God). Roh Kudus memiliki pangkat yang lebih rendah lagi. Ketrituggalan Allah dalam teologi Origenes dilihat sebagai suatu subordinasian - isme (berpangkat-pangkat). Dari pola pemikiran kita dapat melihat pengaruh pemikiran/filsafat dari Platonisme. Sebab dalam pemikiran Neo-platonisme, menurut filsuf Platonisme, Allah adalah yang esa, Ia tanpa pembandingan. Ia tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga. Allah tidak dapat diuraikan karena pada diri-Nya tidak ada predikat, tiada sifat, mengatasi segala perlawanan dan bebas dari segala pegertian, Ia adalah yang sempurna dalam diri-Nya sendiri. Karena itu segala sesuatu dari jagad raya itu mengalir keluar (emanasi) dari yang ilahi itu.
Emanasi (pengaliran keluar) tersebut terjadi dengan pengertian bahwa makin jauh hal-hal yang mengalir  dari sumbernya, maka semakin tidak sempurna keadaannya. Konsep ”subordinaisme) dalam pemikiran Neo Platonisme tersebut oleh Origenes  dikenakan kepada eksistensi Allah Bapa sebagai satu-satu yang paling ilahi. Kemudian dari  diri Allah tersebut mengalir keluar Sang Logos (pangkat pertama), setelah itu mengalir Roh Kudus (pangkat kedua). Walaupun diakui bahwa Logos/Anak yang menciptakan segala sesuatu namun Ia dilahirkan dari Allah. Ia adalah kuasa dan hikmat Allah, sehingga “tidak ada waktu dimana Anak itu tidak ada”. Ia sehakikat dengan Allah, tetapi karena Ia dari sang Bapa maka kedudukan-Nya lebih rendah. Jadi ajaran Trinitaris yang dibangun dalam teologi Origenes sebenarnya konsepsi Allah menurut filsafat Neo-platonisme. yang mana Origenes kurang memberi tempat kepada kesaksian Alkitab. Mereka menggali dan memahami makna Trinitas secara filosofis belaka, namun bukan hasil penafsiran Alkitabiah.Walaupun Origenes dalam ajaran “Trinitaris” menyebut Jesus sebagai Logos sebagaimana disebut dalam teologi injil Johanes tetapi konsepsi Logos dari Origenes sebenarnya lebih ketat dengan pengertian  Neo-platonisme. Logos dalam pemikiran Neo-platonisme berkedudukan lebih rendah, karena Ia mengenakan tubuh jasmani, padahal tubuh dipahami sebagai kubur/penjara bagi jiwa.
Dalam pemikiran Alkitab, hakikat tubuh tak pernah di pertentangkan dengan jiwa. Karena itu dalam pemikiran Alkitab, tak pernah berpandangan bahwa Yesus sebagai Logos berkedudukan lebih rendah dengan Allah Bapa karena Ia mengenakan tubuh manusia. Ia mengenakan tubuh, agar  Ia dapat  jadi sesama diantara umat manusia. Sehingga Ia dapat pula mengangkat atau membawa umat manusia sebagai anak-anak Allah. Dalam berita injil, Firman Allah yang menjadi Yesus Kristus adalah pernyataan diri Allah yang bekenan  solider dengan umat manusia, dengan demikian Allah didalam Tuhuh Yesus Kristus menjadi sesama bagi umat manusia.

2.Pemikiran Arius yang menegaskan eksistensi Anak terjadi karena diciptakan. Sebagai ciptaan, Anak (he  was a creature but not as one of the creature. Ia mempunyai awal walau ia telah hadir sebelum dunia diciptakan. Dalam waktu kekekalan, eksistensinya sebagai Anak menurut Arius “ada saat dimana Anak itu tidak ada”.  Karena status Anak pada konsep Arius hanya ciptaan, maka Ia mau tak mau harus tunduk pada perubahan dan dosa. Dalam pemikiran Arius, kita  dapat melihat pola pendekatan yang ditempuh kearah pendekatan filosopis, bukan pendekatan teologis yaitu tafsir Alkitabiah. Ajaran Arius telah mengabaikan kesaksian Alkitab yang berkata, ”sebab imam besar yang kita punya, bukanlah iman besar tidak dapat turut merasakan kelemahan kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah di cobai, hanya tidak bebuat dosa”  (Ibrani 4:15) dengan jelas surat Ibrani mengatakan, bahwa Yesus sebagai Anak Allah dapat merasakan seluruh kelemaan manusia”  dan Ia juga pernah dicobai, tetapi Yesus “tidak bebuat dosa” (khooris hamartias”, Mungkin Arius terpengaruh dengan perkataan dari  surat Ibrani yang berkata, ”Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat malaikat, yaitu Yesus…(Ibrani 2:9). Pengertian “waktu yang singkat” (brakhu ti), artinya sedikit/singkat, dipakai dalam jenis frase keterangan (adverbal) untuk menunjukkan pada tingkatan waktu, tetapi dalam waku yang singkat “Yesus dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat” tersebut oleh Alkitab kedudukan Yesus sebagai Anak tak penah dinyatakan Ia hanya sebagai ciptaan Allah. Lebih tepat surat Ibrani menyatakan bahwa Yesus dijadikan sama degan manusia, agar Ia dengan kematian-Nya dapat memusnahkan kuasa Iblis (Ibrani 2:14,17). Sebab oleh karena Yesus telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong setiap umat yang di cobai (Ibrani 2:18).

3.Makna pernyataan surat Ibrani ”dibuat sedikit lebih rendah” lebih dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi dan misi Yesus untuk menyelamatkan umat manusia, namun bukan menyatakan kedudukannya yang lebih rendah atau statsus-Nya sebagai ciptaan sebagaimana yang dikatakan oleh Arius. Karena itu di Ibrani 13:20-21, penulis surat Ibrani menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan, sehingga Ia berkata :”Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” Dengan perkataan lain, ajaran Arius tentang Yesus sebagai ciptaan, yang mempunyai awal, tunduk kepada perubahan/fana dan dosa pada prinsipnya sama tidak mempunyai dasar Alkitablah. Itu sebabnya Konsili Nicea tahun 325 menegaskan bahwa Yesus itu dilahirkan, bukan di ciptakan. Salah bentuk penolakannya terhadap ajaran Arius, Konsili menyatakan : 
“Dan kepada satu Tuhan,Yesus Kristus, Anak Allah yang tungal, yang lahir dari sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari Allah, Terang dari terang, allah yang sejati dari Allah yang sejati, Diperanakkan, bukan dibuat, sehakikat degan sang Bapa, yang dengan perantaraan-Nya segala sesuatu dibuat…”

4.Pandangan Sabelius berusaha mempertahankan keesaan Allah secara nominal (absolute). Untuk itu Sabelius menegaskan bahwa Allah hanya memiliki satu hypostasis namun memiliki tiga nama. Jadi Allah yang esa dalam pernyataan-Nya itu menampakkan diri secara modalitas  atau menyatakan diri-Nya dalam tiga bentuk/cara. Untuk melaksanakan tugas penciptaan dan pemberi hukum atas umatnya, Allah menampilkan diri-Nya sebagai Allah Bapa. sedang untuk melaksanakan karya penyelamatan atau penebus dosa, Allah menampilkan diri-Nya sebagai sang Anak yaitu dalam diri Yesus Kristus. Kemudian untuk melaksanakan pembaruan dan untuk mengukuhkan jemaat Kristen, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Roh Kudus yang dimulai hari Pentakosta. Jelas Sabelius memahami “Trinitas” Allah hanya sekedar suatu proses urut-urutan cara penampakan Allah yang esa itu dalam berbagai momen sejarah. Dalam hal ini Sabelius mengabaikan dimensi “personalitas” unik dari Allah Bapa,Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Akibatnya Sabelius dalam ajarannya mengorbankan “pluralitas” kediran Allah, walau ia cukup berhasil mempertahankan keesaan Allah secara bilangan

5.Ajaran Sabelius tentunya sangat memuaskan orang-orang yang berlatar belakang pemahaman wahdat bi’l adat yaitu mereka yang semula memahami keesaan Allah secara bilangan (tauhit). Tetapi pada pihak lain  ajaran Sabelius tetap tidak mampu membei jawab yang memuaskan akan rahasia karya penyelamatan Allah didalam diri Yesus dan Roh Kudus. Dengan pemikiran “modalitas” atau cara penampakan Allah secara berurutan dalam peristiwa sejarah, maka ketika “Allah yang esa” itu menjadi Yesus Kristus, maka Allah yang esa itu selama 30 tahun pernah meninggalkan tahta_Nya di Sorga. Jadi ketika Allah menjelma menjadi Yesus dalam ajaran Sabelius, maka ada suatu saat” di mana Allah pernah meninggalkan sorga dan Karya-Nya yang memelihara umat manusia diluar bumi Palestina.

6.Pengajaran Sabelius  ini tentu menimbulkan banyak persoalan  dan pertanyaan yang tak terjawab, misal : ketika Yesus berdoa, apakah Ia bedoa kepada diri-Nya sendiri? Ketika Yesus dibaptiskan, terdengar suara “inilah Anak-Ku yang Kukasihi kepada-Nyalah Aku berkenan.” Suara siapakah itu yang berkata itu? Padahal dalam injil, secara tegas dinyatakan  perbedaan antara Bapa dan Anak. Di Yohannes 17:1 mempersaksikan doa Yesus, “lalu Ia menengadah ke langit dan berkata Bapa telah tiba saatnya ; permuliakanlah Anak-Mu, supaya Anak-Mu mempemuliakan Engkau”. Sedangkan untuk Roh Kudus, sering dipergunakan kata ganti orang ketiga tunggal. Di Yohannes 16:13 Yesus berkata : “Tetapi apabila Ia datang yaitu Roh kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran …”Pernyataan “ Ia akan memimpin kamu “dipergunakan kata hadegesel (jenis orang ketiga tunggal dalam kasus : Tense future indikatif aktip), dimaksudkan untuk menunjuk bagaimana kedirian unik dari Roh kebenaran itu. Di Kisah para rasul 13:2 dinyatakan : ”pada suatu hari ketika mereka beribadah kepadaTuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus : Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagiKu untuk tugas yang telah kutentukan bagi mereka”. Disini secara jelas disebutkan “berkatalah Roh Kudus “ (eipen to pneuma to hagion)

7.Dalam Kisah Para Rasul menyatakan bagaimana karya Allah dalam Roh Kudus sebagai subjek ilahi dengan karya-Nya yang khusus, yaitu Roh yang memberi hikmat, membaharui, menghibur, menguatkan, melindungi dan menyelamatkan jemaat atau para rasul Tuhan Yesus ketika mereka berhadapan dengan bahaya dan situasi yang sangat kritis. Jadi didalam Alkitab dengan jelas dibedakan antara diri Yesus dengan Roh Kudus, misal dalam ucapan berkat disurat 2 Korintus 13:13 yang bekata, ”Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan roh Kudus menyertai kamu sekalian”. Juga di suarat 1 Petrus1 :2 , Rasul petrus berkata : ”yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepadaYesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.Walau pada sisi lain perlu dipahami bahwa diri Yesus dan Roh Kudus tak dapat dipisahkan. Sebab pada hakikatnya karya Tuhan Yesus tetap esa dengan karya Roh Kudus. Dalam hal ini Roh Kudus tidak berkata-kata dari diri-Nya sendiri (Yoh 16:13). Justru Roh Kudus bersaksi tentang Kristus (Joh 15:26). Dalam konteks tertentu, Roh Kudus dapat disebut juga sebagai Roh Kristus (Gal 4:6,Rm 8:9;Fil 1:19;1 Ptr 1:11). Itu sebabnya Tuhan Yesus sendiri berkata kepada para murid-Nya,”Terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:22).

 Catatan:

1.Athanasius hidup tahun 295-373. Pada tahun 328 Ia menjadi Uskup di Alexsandria. Karya-karya tulisannya dapat disebut “Orations against the Arians” yang berisi ringkasan ajaran Arius dan bagaimana Ia mempertahankan keputusan persidangan di Nicea. Selain itu juga menulis Letter concerning the Decrees of the council of Nicea. Ia juga menulis buku yang berjudul On Synods yang berisi uraian tentang pembenaran terhadap konsep homousios, dan tulisan  yang berjudul Letters to Serapion yang berisi pandangannya tentang Roh Kudus.

2.Istilah homousius mempunyai satu zat atau satu hakikat, Arti pokok dari ousia adalah “beeing”essence”reality”. jadi yang dimaksud dengan Athanasius adalah bahwa Logos sama sekali satu zat dengan Allah Bapa. Bandingkan homousius dengan istilah homoios. Istilah homoios yang artinya menyerupai Istilah homoios dipakai pengikikut ajaran Arius justru yang mengajarkan bahwa Anak itu menyerupai Bapa, Bahkan ada pula  para pengikut Arius yang mengajarkan Anak itu tidak menyerupai (an-homoios) dengan Allah Bapa. Kedua istilah homoios (menyerupai) dan an-homoios (tidak menyerupai)  pada hakikatnya tetap menyangkal keilahian atau ketuhanan Logos (Yesus selaku anak itu sebabnya Athanasius menegaskan bahwa Yesus dengan Allah Bapa sehakikat (homousios).

3.Pandangan Athanasius tersebut didukung oleh “Tiga serangkai dari Kapadokia” yaitu Basilus yang Agung (wafat tahun 379), Uskup Kaisarea dan metropolitan Kapadokia (wafat tahun 394), dan Gregorius dari Naziazus (wafat tahun 390). Mereka sepikir dan sepakat, bahwa dalam diri Allah terdapat kesatuan Ilahi diantara ketiga keilahian-Nya. Hanya bedanya, jika Athanasius menekankan konsubtansialitas antara ketiga-Nya; maka menurut “tiga serangkai dari Kapadokia” tersebut memunculkan ide “Trinitas” yaitu ; Tiga pribadi dalam satu keilahian.Mereka tetap menekankan keesaan Allah, tetapi juga pada saat yang sama menegaskan bahwa ketiga keilahian Allah tetap memiliki  kekhasan-Nya.

4.Pengakuan iman Athanasius disebut juga QUICUNQUEVULT, Istilah ini berasal dari bahasa latin, yaitu perkataan yang terdapat pada pembukaan kredo Athanasius “Quicunque Vult salvus esse ante omnia opust est, ut teneat cantholocan fiden…”(artinya Bila seseorang ingin diselamatkan, maka pertama-tama haruslah Ia memegang kepercayaan Gereja Katolik…”

5.Rumusan tersebut penulis terjemahkan dari teks pengakuan iman Athanasius dalam bahasa Inggris, yaitu :”That we worship one God in Trinity, and Trinity in unity Neither confounding the person, nor the dividing the substance (essence), For there is one person of the faher, and another of the Son and another of the Holy Ghost, but Godhead of the Father, another of the Son and the Holy Ghost is all one, the glory equal the Majesty coeternal…”

6.Berasal dari terjemahan “The Father uncreated, the Son uncreated, and the Holy Ghost uncreated. The Father uncreated the Son uncreated, the Son incomprehensible (unlimited), and the Holy Ghost incomprehensible (unlimired, or infinited), the Father eternal, the Son eternal, and the Holy Ghost eternal, And yet they are not three eternal,but one eternal…”

7.Karena itu menurut Praxes yang sebenarnya menderita sengsara adalah Anak, sedang Bapa yang adalah Roh tidak dapat menderita. Tetapi karena Bapa telah memasuki daging (Kristus memasuki diri Yesus), maka Ia turut menderita. Allah Bapa turut  menderita. Inilah yang  disebut dengan ajaran Patripassianisme. Dengan ajarannya ini. Praxeas sebenanya mengajarkan keesaan Allah. Allah itu esa dalam pengertian Bapa dan Anak satu Pribadi, yaitu sebagai pribadi Allah.

8.Dalam pemikiran Neo-platonisme mengajarkan dualisme plato yaitu tubuh dan Roh/Jiwa. Dimensi roh ditempatkan oleh Neo-platonisme sebagai tingkatan yang paling tinggi. Pendiri Neo-platonisme adalah Ammonius Sakkas dari Alexandria (175-242). Namun pencipta platonisme yang sebenarnya adalah Plotinos (284-26), yang adalah murid Ammonius Sakkas.

9.Bandingkan dalam karyanya yang berjudul Phaidros, Plato melukiskan terbentuknya struktur jiwa manusia dalam sebuah kisah mite. Jiwa dilukiskan sebagai seorang sais (Kusir) yang mengederai dua kuda yang bersayap. Kuda yang satu menarik keatas (lambang bagian dari jiwa yang disebut “keberanian”), dan yang lain selalu menarik kebawah (lambang bagian dari jiwa yang disebut “Keinginan”. Sais tersebut (labang bagian jiwa yang rasional)  hendak mencapai puncak  langit yang tertinggi, supaya dari sana ia dapat memandang “kerajaan ide a-idea” Tetapi kerena kuda yang selalu menarik kebawah (lambang nafsu manusia), maka mereka kehilangan sayap-sayapnya, sehingga jatuh ke bumi.

10.Realitas jiwa menyatakan  dirinya justru dalam intensitas manusia yang bergerak dalam hidup ini. Tubuh (soama) dalam pemikiran Alkitab  tak pernah dipahami sebagai sumber dosa. Sebab sumber dosa disebut oleh Alkitab dengan istilah daging (san), Jadi jika dalam Yohannes 1:14 Yesus Kristus sebagai Logos disebut “Firman menjadi daging” (ho Logos sarx egeneto), dilakukan agar melalui Kristus , Allah membebaskan kita dari kuasa dosa (sarx), tetapi bukan dimasudkan untuk membebaskan kita dari tubuh (soama) ini.

11.Penulis kitab ibrani tidak memperlihatkan kebingungan mengenai gagasan yang sejajar tentang keilahian Yesus sebagai Anak Allah dengan kemanusiaan-Nya. Pada saat yang sama Yesus sebagai Anak Allah yang mencerminkan kemuliaan Allah dan juga sebagai manusia yang dapat dicobai seperti kita. Karena itu dalam Ibrani 1:3, penulis Surat Ibrani memperkenalkan Yesus sebagai Anak Allah yang ditinggikan, sesudah itu Ia memberikan perincian mengenai keadaan kemanusiaan-Nya, sebagai berikut :
- Ia lebih rendah dari pada malaikat dan dalam pelayanan-Nya. Ia memperhatikan manusia, bukan malaikat-malaikat (Ibrani 2:9,16)
- Ia mempunyai darah dan daging seperti saudara-saudara-Nya (Ibrani 2:14)
- Dalam keadaan sebagai manusia, Ia mengalami pencobaan (Ibrani 2:18,4;15)
- Ia berdoa dan memohon dengan suara jeritan yang mengharukan dan ratap tangis pada waktu di taman Getsemani (Ibrani 5;7).
- Ia belajar taat melalui penderitaan-Nya, sebagai hasilnya Ia dikatakan telah dijadikan sempurna (Ibrani 2:10;5:8-9)
- Ia merasakan pengalaman takut akan Allah (Ibrani 5:7
- Ia mengangap kematian-Nya sebagai bagian yang tidak dapat dihindarkan dalam maksud/rencana (Ibrani 2:9,14)

12.Dalam hal ini Quran menyatakan, “wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (Yang terjadi dengan) kalimatnya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari pada-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-sasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : (Tuhan itu tiga) berhentilah (dari ucapan itu) (Itu)  lebih baik bagimu. Sesunguhnya  Allah Tuhan Maha yang esa, Maha suci dari mempunyai anak, segala yang dilangit dan dibumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah untuk menjadi Pemelihara (Surah An Nisaa’/4:171). Penekanan teologi Quran adalah Allah itu esa secara bilangan (wahdat bil’l adat), sehingga timbul kesalah pahaman terhadap ajaran Trinitas, seakan-akan umat Kristen mengimani “Allah itu tiga”. Namun pada sisi lain, masalah Kalimatulah (Firman Allah) dan Ruh (Roh) Allah dalam Quran tetap belum terjawab, apakah Kalimatulah (Firman Allah) telah ada sejak kekal ataukah diciptakan. Umat Muslim terpecah menjadi dua golongan dalam menghadapi persoalan Kalimatullah (Fiman Allah) diciptakan atau tidak diciptakan. 

PANDANGAN GEREJA REFORMATORIS TENTANG ALLAH YANG TRINITARIS (4)
Relasi Trinitas Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan suatu jalinan kasih.Bapa sebagai Subjek  yang mengasihi, dan Anak objek yang dikasihi. Namun pada sisi lain Anak sebagai Subjek yang mengasihi, dan Bapa sebagai yang dikasihi. Dalam hakikat diri Allah sejak kekal telah terdapat gerak  hidup cinta-kasih. Di Yohanes 17:24, Tuhan Yesus berkata : ”Ya Bapa, Aku mau supaya, dimanapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan”.
Jelas, Allah telah mengasihi Kristus sebelum dunia dijadikan. Kehadiran Roh Kudus secara khusus untuk mencurahkan kasih Allah (Rom 5:5). Karena itu esensi utama dari diri Allah adalah Kasih. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Konsep Trinitas Allah dalam pemahaman ini disebut dengan perikhoresis, yaitu Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus saling mendiami atau saling tinggal dalam keesaan-Nya.
Istilah perikhoresis berasal pemikiran John Damaskus (675-749), yang berpijak pada ucapan Tuhan Yesus di Yohannes 14:10, yaitu : ”Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa didalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam didalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya”. Inti perkataan Kristus adalah Dia didalam Bapa, dan Bapa didalam Yesus. Karena itu John Damaskus menyatakan bahwa Allah itu esa yang didalam dirinya memiliki tiga pribadi saling berbeda, namun yang saling berbeda  itu tidak meniadakan yang lain. John Damaskus memahami keesaan Allah dalam tiga pribadinya sebagai “Co-inherence of the person” Maka perikhoresis adalah hypostasis (pribadi-pribadi) Allah tersebut saling mendiami satu sama lain tanpa tercampur.Konsep perikhoresis diillusrasikan seperti sebutir telur yang memiliki tiga bagian, yaitu kulit. Putih, dan kuning telur. Ketiga bagian dari telur tersebut saling menyatu namun tidak tercampur (Dicker 1995, 58). Peran Roh Kudus disini sebagai Roh Allah yang menyeliki segala sesuatu termasuk pula hal-hal yang tersembunyi didalam diri Allah (bdk, 1 Kor 2 :10).
Untuk memahami Trinitas Allah perlu dibedakan antara “Subtansi-Nya” (hakikat) dengan “kuasa” Allah. Subtansi Allah lebih menunjuk kepada hakikat yang terjadi dalam diri Allah.Yang mana tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui, menyelami dan memahami secara utuh kedirian Allah sebagai Bapa, Anak, Roh Kudus Hakikat atau subtansi Allah bersifat misteri dan melampaui seluruh pengertian manusia, sehingga manusia hanya dapat takjub dengan penuh takzim dan beriman. Sebaliknya yang kita ketahui tentang diri Allah adalah melalui manifestasi “kuasa-Nya.” Melalui kuasa-Nya, Allah meliputi dan menghidupi seluruh ciptaan. Di Kisah Para Rasul 17:27-28, Rasul Paulus berkata saat dia berada di Aeropagus: “Sebab didalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga pujangga: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” Kata “di dalam” (en) Allah disini menunjuk seluruh mahluk dan umat manusia berada, hidup dan bergerak dalam kuasa Allah.
Jadi sebagai ciptaan kita tidak hidup dalam hakikat Allah. Hakikat Allah lebih menunjuk kepada relasi atau hubungan eksklusif dan intim antara Bapa-Anak-Roh Kudus. Itu sebabnya bagi gereja-gereja Tuhan, esensi Allah hanya dapat diketahui secara negatip (negationsis). Karena itu yang kita ungkapkan dalam teologi dan ibadat tentang Allah yaitu “siapa Allah” atau hypostatis sebagai Bapa,Anak, dan Roh Kudus. Kita mengetahui tentang Allah melalui  pernyataan kuasa-Nya. Di Efesus 1 :19-20 Rasul Paulus berkata : “dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai kekuatan kuasa, yang dikerjakan-Nya didalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga.” Perhatikan kata “dengan kekuatan-Nya” (mengethostes dunameos autou), jadi Allah hadir dalam kehidupan umat manusia melalui kuasa-Nya. Melalui manifestasi kuasa-Nya, Allah didalam Kristus dan Roh Kudus menyatakan kasih, kerahiman, pengampunan, dan pemeliharaan-Nya.
Manifestasi  kuasa Allah yang menyatakan diri sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus memampukan umat untuk menjalin relasi kasih dengan sesama.Melalui pernyataan allah yang Triniaris tidak terbuka ruang bagi sikap otoriter dan absolute. Sangat berbeda bila Allah hadir sebagai Allah yang esa secara absolute (monarkhianisme), maka akan terbuka ruang umat untuk meneladani Dia dengan sikap absolute, ekskluif, dan sikap menghakimi setiap orang yang berbeda dengan dirinya. Kita menolak Allah yang esa secara nominalkarena doktrin tersebut menjadi landasan etis bagi umat untuk meniadakan kepelbagian dan perbedaan dalam kehidupan bersama.
Karl Barth dalam “Church Dogmatics” sebagaimana  disunting oleh veli-Matti Karkkainen dalam Tritunggal  dan Pluralisme Agama menyatakan : ”Allah Trinitaris yang dinyatakan didalam Yesus Kristus adalah yang ingin masuk kedalam persekutuan dengan umat manusia di dalam kasih-Nya, Allah dihayati sebagai Allah yang Trinitaris sementara Ia menyatakan diri-nya didalam kasih Bapa yang memberikan diri-Nya kepada Anak, yang pada dirinya berkorespondensi dengan kasih Allah   yang memberikan diri-Nya  kepada ciptaan. Relasi kasih trinitaris ini sangat mendasari relasi Allah dengan Dunia ”(Karkkainen 2013,22), Dengan demikian, semakin jelas bahwa iman kita kepada Allah yang Trinitaris memampukan kita untuk mengalami rahmat-Nya yang menerangi, membimbing, dan menguduskan kita untuk menjalani relasi kasih dengan Allah dan dunia. Iman kepada Allah yang Trinitatis, yaitu Bapa-Anak-Roh Kudus tersebut hanya mungkin bila setiap umat menempatkan Kristus sebagai pusat dan tujuan hidup.
Dalam konteks ini gereja-gereja Reformis dipanggil merumuskan sikap imannya kepada Allah Tritunggal (Trinitatis), di hadapan Allah Tritunggal, umat datang dengan sikap penyembahan. Sikap penyembahan tersebut melingkupi seluruh dimensi kehidupan manusia secara pribadi dan persekutuan umat percaya .Sikap takjub di dalam penyembahan tersebut menunjukkan pengakuan kita bahwa Allah adalah misteri yang melampaui kemampuan manusia untuk mengenali dan memahami Allah hanya dapat didekati melalui kasih dan Iman.
Allah Tritunggal (Trinitaris) yang  kita percayai adalah satu hakikat di dalam Tiga Pribadi, yang bersekutu di dalam kekekalan melalui relasi  kasih diantara ketiga pribadi ilahi. Persekutuan kasih ilahi tersebut terarah kepada seluruh ciptaan secara melimpah dan tanpa syarat melalui karya penciptaan, penyelamatan, dan pemeliharaan. Ketiga karya  ilahi tersebut merupakan satu kesatuan tak terpisahkan yang bertujuan untuk mengikut sertakan seluruh ciptaan ke dalam persekutuan Allah Tritunggal. Itu berarti penciptaan, penyelamatan, dan pemeliharaan Allah merupakan karya dari tiga pribadi Allah Tritunggal secara bersama-sama (bandingkan konsep konfesi GKI dan Penjelasan Pendek Konfesi GKI -2014)

Catatan :

1.Di 1 Timotius 6:16 Rasul paulus  menyatakan bahwa Kristus bersemayam bersama dengan Allah dalam terang yang tidak terhampiri, yaitu .”Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat  Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal Amin.” Makna kata “Terang yang tidak terhampiri” (phoos alkoon aprosition) menunjuk kepada ketidak mungkinan dan keterbatasan manusia untuk mencapai mengahampiri yang ilahi. Manusia juga tidak mampu mengungkapkan dengan bahasa atau kalimat tentang bagaimanakah hakikat atau esensi Allah. Hakikat Allah melampaui seluruh pengetahuan dan pemahaman kita. Sebab hakikat atau esensi Allah tidak terbagi .


IMPLEMENTASI PENGAJARAN ALLAH TRINITAS  (5)
Pengajaran Allah yang Trinitas adalah manifestasi Allah yang menyatakan dirin-Nya dalam sejarah umat manusia. Karena itu pengajaran Allah yang Trinitaris dibutuhkan untuk menjaga keselamatan ,keutuhan ciptaan, kehidupan yang harmonis, dan relasi yang saling membangun. Dalam konteks ini kita dapat melihat sembilan poin implementasi pengajaran Allah Trinitaris yaitu :
1.Pernyataan Allah secara Triniaris dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan pernyataan Allah yang esa secara relasional. Keesaan Allah yang Trinitaris bukanlah keesaan Allah yang bersifat nominal/bilangan (yakhid). Dengan pernyataan Allah yang relasional sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus, maka kerberadaan “Anak” (sang Firman yang berinkarnasi menjadi manusia) dan Roh Kudus telah berada sejak kekal bersama dengan Bapa, Allah  sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus sehakikat sejak kekal dalam kemuliaan ilahi-Nya (Yoh 17:24).
2.Karya penciptaan alam semesta, bumi dan seisinya merupakan Karya Allah dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus. Demikian pula karya penyelamatan dan penebusan dosa merupakan karya Allah di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus. Karya pembaruan yang menguduskan merupakan Allah di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus. Allah Trinitas senantiasa bekerja bersama dalam keesaan-Nya, tidak terpisah pisah namun saling interdependensi. Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus adalah keesaan ilahi yang relasional (ekhad). Penggunaan kata ekhad yang artinya esa secara jamak dalam hubungan yang relasional terlihat dalam pengakuan iman umat Israel : Dengarlah, hai orang Israel : “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa”(Ul, 6:4).
3.Relasi ilahi yang personal dan esa dalam diri  Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan relasi yang perikhoresis, yang artinya: saling mendiami, saling meresapi dalam kasih yang kekal, tidak melebur dan tidak saling meniadakan. Dengan relasi yang perikhoresis, Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus saling memiliki korelasi yang kekal, saling meresapi dalam kasih ilahi sehingga hakikat Allah yang esa adalah Allah persekutuan. Sebagai Allah persekutuan, Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Sejak kekal sampai kekal Bapa mengasihi sang Firman , Relasi kasih ilahi yang kekal dalam Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan relasi yang esa bagaikan sebutir telur yang terdiri kulit luar , putih dan kuning telur.
4.Gerak kasih ilahi yang terjadi dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus menjadi landasan etis moral Allah menyatakan kasih-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya khususnya umat manusia (Yoh 3:16). Di dalam Kristus ,Allah memberikan diri-Nya kepada manusia agar setiap umat dipenuhi oleh rahmat-Nya yang melimpah dan membebaskan dari kuasa dosa.
5.Pemerintahan Kerajaan Allah secara Trinitaris dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan pemerintahan Allah dalam kuasa kasih-Nya yang membaharui dan menyelamatkan. Karena itu hakikat pemerintahan Allah secara Trinitaris menolak segala bentuk otoriterisme, diktatorisme dan monarkhisme. Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus adalah Allah yang inklusif, menghargai keberagaman, dan keunikan setiap ciptaan-Nya.
6.Jalinan relasi yang didasarkan dalam sikap iman kepada Allah yang Trinitaris mendorong setiap umat untuk memberlakukan prinsif-prinsif kesetaraan, sikap yang demokratis, inklusif, penghargaan yang tinggi akan keberagaman, saling memberi dan berbagi ruang , serta sikap empatis dengan bersedia berkurban bagi orang lain. Di dalam Kristus, kita mengenal Allah yang berbela rasa, karena itu setiap umat dipanggil untuk menyatakan kasih yang empatis kepada sesama yang menderita.
7.Konteks Indonesia yang memiliki keragaman etnis,suku,agama dan budaya membutuhkan pijakan filosofis dan sikap etis yang berakar pada karakter Allah  yang Trinitaris. Di dalam diri Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus kita  memahami motto negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) sebagai wujud pernyataan Allah yang memberi payung yang lebar bagi seluruh rakyat Indonesia. Payung yang lebar tersebut dinyatakan melalui dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Dengan mengimani Allah secara Trinitaris,rakyat dan bangsa Indonesia diikat dalam kesatuan yang relasional, bukan kesatuan yang nominal. Dalam kesatuan yang nominal akan mendorog setiap orang untuk saling menyeragamkan orang lain. Sebaliknya dalam kesatuan yang relasional, setiap orang wajib menghormati perbedaan,keberagaman dan keunikan sesamanya sehingga setiap orang berusaha untuk saling membuka dan membagi ruang.Setiap orang menghayati keberagaman sebagai rahmat Allah yang begitu besar sebab saling memperkaya, memperdalam, dan memperluas wawasan dan khasanah rohaniah dalam kesatuan Republik Indonesia.
8. Sebagaimana Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus tidak dapat dipisahkan atau diceraikan, maka seharusnya hubungan pernikahan suami-istri yang diteguhkan didalam namaAllah yang Trinitaris juga tidak dapat diceraikan. Hubungan suami-istri dalam kisah penciptaan digambarkan secara relasional, yaitu: ”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging “(Kej 2:24). Relasi suami –istri disebut dengan hubungan “satu daging” (ekhad basar). Sebagaimana Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus adalah Allah yang ekhad (esa secara relasional), demikian pula hakikat hubungan suami –istri dihadapan Allah. Dengan demikian pengajaran Allah yang Trinitaris menjaga kekudusan dan kesetiaan suami –istri agar mereka  saling mengasihi, melengkapi, meneguhkan dan mengampuni sampai maut memisahkan mereka.
9.Pengajaran Allah yang Trinitaris dalam pengertian keesaan yang relasional (ekhad) dapat dipakai sebagai landasan etismoral untuk setiap relasi dalam kehidupan umat manusia. Dengan demikian pengajaran Allah yang Trinitaris merupakan rahmat Allah yang terbesar yang dikaruniakan Allah dalam sejarah umat manusia. Prinsip pengajaran Allah yang Trinitaris seharusnya diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan dengan pengertian yang benar. Prinsip pengajaran Allah yang Trinitaris bukanlah pengajaran yang politheistis (banyak Tuhan) yaitu : Allah terdiri dari Allah-Anak-Roh Kudus. Pengajaran Allah yang Trinitaris tidak identik Tritheis (tiga Tuhan). Dengan demikian jelas bahwa iman Kristen adalah iman yang monoteistis, yang monarkhisme (ketunggalan nominal) tetapi monoteistis  yang berasas keesaan Allah secara relasional dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus.
                                                                                                                         
MANUSIA TERDIRI DARI TUBUH, JIWA DAN ROH
Pertanyaan :
1. Bolehkah manusia hidup tanpa tubuh/daging?
2. Bolehkah manusia hidup tanpa fikiran/akal?
3. Bolehkah manusia hidup tanpa roh? 


NO TUHAN (tidak diciptakan) MANUSIA (diciptakan)
01 Bapa (Allah) Tubuh (manusia)
02 Yesus Kristus (Firman Allah) Fikiran/Akal  (manusia)
03 Roh Kudus (Roh Allah) Roh (manusia)
04 Tak terbatas Terbatas
05 Allah Roh (Tidak kelihatan)  Manusia Tubuh (kelihatan)
06 Kekal Sementara
07 Tidak diciptakan Di ciptakan
08 Jangkauannya Tak terhingga Jangkauannya terhingga
09 Kecepatannya tak terhingga Kecepatannya terhingga
10 Jarak nya tak terhingga Jaraknya terhingga
11 Tiga pribadi dalam kesatuan satu pribadi
12 Tidak terikat dengan Ruang dan waktu Terikat dengan ruang dan waktu
13 Allah tidak pernah   ber dosa Manusia tempat salah dan dosa
14 Allah bisa berjalan diatas air manusia tidak bisa
15 Allah mencipta dengan Firman manusia mencipta dengan tangan
16 Bapa,Firman,Roh ketiganya Roh Tubuh,fikiran,roh  diam dalam tubuh
17 Roh tidak bisa mati tubuh bisa mati

Trinitas menurut Christian Prince dianalogikan  atau diumpakan seperti contoh dibawah ini, meskipun tidak persis sama .

(1) Trinitas itu seperti matahari (Matahari - Panas - Cahaya) = MATAHARI
(2) Trinitas itu seperti air (Air - Es - Uap) = AIR
(3) Trinitas itu seperti telur (Kulit telur - Putih telur -  Kuning telur) = TELUR
(4) Trinitas itu seperti Tubuh manusia (Tubuh - Akal budi - Roh) = TUBUH

Karena Allah itu Roh adanya, sehingga  tidak dapat di lihat oleh panca indra manusia
=============== ============== ============= ============ =========

Related Posts:

Pengikut

YOUTUBE PENDETA GKI LIPPO CIKARANG

About Me
"CERAMAH PENDETA GKI LIPPO CIKARANG"KLIK DISINI →